Selasa, 03 Agustus 2010

hati dan logika

Sekedar cuap cuap hari ini,, 
Kepastian itu sudah ada, tapi kepastian menjadi seorang teman yang baik dalam hidup. Memang sulit mempercayai pengakuan dan  kejujuran seorang yang jelas2 terlihat dari sudut matanya. menjadi seorang wanita pada awalnya memang bukan suatu pilihan. itu takdir, yang tidak mungkin kita bisa mengubahnya. namun disini aku mw bertanya kenapa wanita cenderung mengutamakan hati dari pada logika. kenapa malah pria yang lebih berpikir secra logika. 
Bagaimana kalau semua ini terbalik. jika Wanita lebih mengutamakan logika dan Pria lebih mengutamakan hati / perasaan. apakah bisa?? 
mungkin hal itu ada namun aku belum menjumpainya,, bagaimana kejadiannya dan apa yang akan terjadi. 
tidak ada yang salah dari semua aturan itu, namun bagaimana cara kita bisa mengambil hikmah dari apa yang tuhan ciptakan yang tegantung dari pribadi masing masing individu. 
mulai bingung dalam mengartikan hidup itu wajar. 
namun disini sebagai seorang wanita, kita memang harus bisa membagi antara hati dan logika. hal ini mungkin bisa terungkap dalam penggalan cerita mengenai kericuhan antara logika dan hati yang aku dapat dari salah satu postingan menarik dari temanku. 
Hati dan Logika akan selalu bersama, tapi tak pernah beriringan. Mereka memilih jalannya yang berbeda. Ya, sebenarnya walau mereka berjalan bersama, terkadang mereka acuh tak acuh. Tak mau bergandeng tangan, bahkan enggan menatap yang di sebelahnya. Seperti bermusuhan. Tapi keadaan menjadikan mereka satu.

Kadang Batin mempertemukan mereka, hanya untuk mengajak bicara. Tapi akhirnya mereka berselisih.
Batin hanya bisa menggelengkan kepala dan memenangkan satu di antara mereka.

Satu. Ya, cuma satu.
Dan biasanya Hati yang berkuasa.

Hati, ia lebih perasa. Tapi ia rapuh.
Logika, ia memang kuat tak terkira, tapi ia tega.

Ah, mungkin selamanya Hati dan Logika tak mampu berjalan beriringan, walau tetap harus bersama.

Suatu hari, Hati dan Logika bertemu di persimpangan.
Hati enggan menyapa, bahkan memalingkan muka.
Sungguh ia tak ingin bertemu Logika yang kejam itu. Dalam pikirnya, Logika cuma satu: kejam.

Logika menyapa, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi seolah lupa, pertempuran kemarin, perselisihan terbesar mungkin, dimenangkan juga oleh Hati. Hati yang pulang dengan kemenangan walaupun memar sana-sini.

Memarnya tak hilang juga.

"Hai, Hati, apa kabarmu hari ini?", katanya jumawa.

"Baik", Hati menjawab singkat.

"Mengapa wajahmu masih biru? Masih sakitkah seperti dihujam sembilu?", ada nada mengejek dalam setiap katanya.

Hati hanya tersenyum dan, Logika pun jelas melihat, ada bahagia tersirat.

"Ya. Masih memar. Tapi aku bahagia.", ujarnya singkat.

"Ah, dasar bodoh. Bahagia katamu? Macam bahagia karena luka-luka? Sudah gila rupanya. Apa kamu tak punya logika? Oh iya, Logika itu kan aku."

dan Logika pun tertawa. Keras dan masih jumawa.

"Bilang saja aku gila. Tapi aku bahagia. Cukup untuk mengatasi setiap luka."

dan Hati hendak berbalik pergi.
Tapi Logika menahannya.

"Tunggu! Tunggu. Aku masih ingin tahu. Mengapa kau tak mengalah saja? Ketahuilah. Jika kau saat itu mengalah, lukamu tak akan parah.", Logika akhirnya tak bisa menyembunyikan keheranannya.

"Ya. Memang."

"Lalu?"

"Memang demikian. Tapi aku tak tahu harus bagaimana bertanggung jawab pada cinta, jika aku mengalah.
Aku tak tahu bagaimana harus menopangnya yang mungkin akan jauh lebih terluka, daripada luka yang kutanggung saat ini."

Logika terdiam.
Hati terdiam.
Dan Logika angkat suara.

"Masih tak inginkah kau beri tempat juaramu padaku?"

"Tidak"

"Bilang saat kau mau."

"Tidak akan. Aku harap tidak akan."

"Baiklah", Logika menghela nafas, "Kau mau ke mana?"

Hati tersenyum, jauh lebih ramah dan tulus.

"Ke sana, ke tempat yang jauh di masa nanti. Ke depan. Pokoknya bergerak maju tanpa henti.", ujarnya dengan semangat yang mendadak hadir.

"Aku antar.", kata Logika.

"Tidak," Hati menggeleng. "Kita tetap bersama, namun selamanya kita tak beriringan. Lagipula untuk menuju ke sana ku sudah punya kawan."

"Siapa?"

"Waktu."

"Oh."

"Logika, kelak kita bertemu lagi dalam pertempuran baru. Bersama Batin yang hanya sanggup menggeleng dan mengangguk, dan memilih satu. Lain waktu. Lain kali. Dan kita tak persoalkan lagi perselisihan kemarin ini."

"Baiklah."

"Dan satu lagi," Hati menghentikan langkahnya, "Saat kita bertemu, memar ini pasti tak lagi ada."

"Kita lihat saja," Logika tergelak.

"Ah, kau kan sudah kuberi tahu aku berjalan bersama siapa."

"Siapa?"

"Waktu..."

Logika tersenyum.
Hati juga tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Sampai jumpa, Logika."

"Sampai jumpa, Hati."

Dan di persimpangan itu mereka bertemu, dan di persimpangan itu mereka berpisah.



Jadi apa bisa jika seorang pria menggunakan hatinya tanpa harus slalu berpikir secara logika. 


Meskipun memang benar menjadi wanita memang harus slalu mengalah...


(^.^)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...My New World..."